Memimpin Tanpa Melihat Rakyatnya
Judul tulisan saya di atas sangat pas sebagai kritik rakyat jogja kepada pemimpin-pemimpinnya di Jakarta. Mereka, para pimpinan dan juga para wakil rakyat dengan sewenang-wenang hendak melupakan dan meniadakan keistimewaan Jogja. Mereka berdalih dengan berbagai argumentasi ilmiah dan logika berfikir yang menurut saya telah mengabaikan aspek kenegarawanan yang merupakan dasar untuk memimpin bangsa yang beranekaragam ini. Idealnya mereka bertanya kepada rakyatnya, APA YANG MENJADI KEMAUAN RAKYAT. Namun entah mengapa, mungkin karena gengsi atau merasa diatas, sehingga mereka sangatlah berat hati untuk menjemput aspirasi bawah dan membawanya menjadi sebuah kebijakan yang paling pas untuk rakyatnya.
Jogja bukan ibarat anak kecil, bukan juga anak yang tak bisa berfikir. Di Jogja berpuluh, beratus, bahkan beribu intelektual bisa dijumpai, dengan berbagai latar belakang keilmuan tentunya. Intelektual disini tidak hanya berasal dari pendidikan formal, namun juga yang berasal dari dasar dan pengembangan budaya jawa yang adiluhung. Andaikata para pemimpin kita mau bertanya kepada mereka, dan mengakomodir keinginan warga Jogja, maka kejadian seperti saat ini tidak akan terjadi.
Berbagai penolakan terhadap statement yang dilontarkan pemimpin di Jakarta kian hari semakin berkembang, dari rakyat biasa sampai para pemikir terdidik. Mereka menyuarakan hal yang sama yaitu, pertahankan keistimewaan Jogja. Diulur-ulurnya pembahasan dan pengesahan RUUK yang merupakan landasan hukum keistimewaan Jogja sebenarnya sudah menandakan kurangnya niat pemerintah pusat terhadap Jogja. Yang saya takutkan, di masa depan, keistimewaan hanya sebatas pengakuan historis saja dan mengesampingkan keistimewaan yang seharusnya diberikan kepada kota ini sebagai bentuk penghargaan akan peran besarnya dalam pembentukan negeri ini.

Comments
Post a Comment